Posted by : SoftSkill
Jumat, 11 April 2014
Title: Piece of Sakura
Author: Tsu
Genre: Friendship, Mystery
Rate: T
Main Cast: Atsuko Maeda, Jurina Matsui
Other Cast: Minami Takahashi, Haruna Kojima, Yuko
Oshima, Tomomi Itano
Disclaimer: AKB48 & SKE48 punya Aki-P, agensi
mereka, dan tentu diri mereka sendiri. Terinspirasi dari PV Sakura no Ki Ni
Narou.
Summary: Apa benar sebuah janji akan terbawa
sampai mati? Apa benar jika seseorang telah meninggal dan masih punya sesuatu
hal yang belum selesai di dunia, akan kembali lagi? Apa benar jika hantu bisa
membunuh manusia? Seorang gadis muda telah membuktikannya.
.
.
.
Musim
semi selalu terasa menyenangkan. Bagaimana tidak? Di negeri bunga Sakura, musim
semi merupakan musim yang ditunggu-tunggu, khususnya bagi pecinta bunga. Atsuko
tidak tahu sejak kapan ia begitu menyukai bunga anggun bermahkota merah muda cerah
itu. Mungkin karena di halaman sekolah tempat ia mengajar terdapat pohon sakura
yang tinggi dan sekarang sedang memekarkan bunga indahnya.
Ini
adalah tahun ketiga bagi Atsuko di Hanamari Gakuen, sekolah menengahatas di
ibukota Jepang, Tokyo. Ia menikmati pekerjaannya sebagai pengajar seni karena
ia sangat mencintai akting, bernyanyi dan menari. Ibarat kumbang menemukan
bunga yang sedang merekah; cocok.
“Maeda
sensei1, jam pelajaran
sebentar lagi dimulai!” teguran seorang siswa membawa Atsuko kembali ke dunia
nyata, tatkala guru muda itu asyik memandangi pohon sakura di halaman.
“Wakarimashita2...” sepatu
berhak tinggi yang dikenakannya berbunyi tak-tak-tak ketika dengan perlahan
kaki Atsuko melangkah mengikuti sang murid.
***
“Aku
sudah mengiriminya e-mail berkali-kali,
tapi tidak ada balasan,” ujar perempuan dengan rambut yang diikat tinggi-tinggi
seraya menutup flip ponselnya.
“Apa
sudah mencoba menelponnya?” tanya perempuan lain sambil menyesap cappucinno dengan santai.
“Eng,
belum.”
“Baka3-mina!” perempuan lain
yang mempunyai rambut lurus panjang menjitak kepala si perempuan dengan rambut
yang diikat tinggi-tinggi.
“Nyan-nyan,
sakit!” keluh Minami, atau dipanggil Takamina, kadang dipanggil Baka-mina jika
ia menjengkelkan.
“Bagaimana
kalau aku coba telpon?” tawar Yuko sambil mengeluarkan ponselnya kemudian
memijit beberapa tombol. Minami, Haruna, dan Tomomi menunggu dan memperhatikan.
Beberapa
saat kemudian, Yuko menggelengkan kepala. “Tidak diangkat,” desahnya.
“Acchan
selalu saja beralasan sibuk. Padahal besok kita sudah harus berangkat ke
Nagoya,” Haruna memajukan bibirnya; kebiasaan kalau ia sedang kesal.
“Nyan-nyan,
bibirmu seksi. Mau aku cium?” kelakar Yuko sambil melingkarkan tangannya di
bahu Haruna.
KRIIIIING!!
Ponsel
Yuko berdering.
“Acchan!
Acchan menelpon!” pekik Yuko sambil memijit tombol jawab dan mengubahnya ke loudspeaker.
“Yuko, ada apa?” tanya Atsuko dari seberang
sana.
“Kau
ini kemana saja, sih, Acchan?!” semprot Minami.
“Padahal
hari ini kita janji berkumpul di kafe A,” sambung Haruna.
“Kau
ingat ‘kan besok hari apa?” tanya Tomomi.
“Aku sibuk, teman-teman. Melatih anak didikku
untuk menyambut lomba seni musim semi ini,” Atsuko membela diri.
“Ya-ya-ya,
ibu guru yang sibuk. Tapi besok hari Minggu, lho...” celoteh Minami.
“Ayolah, ini lebih penting daripada sekedar shopping di akhir pekan.”
“SHOPPING?!” pekik Minami, Haruna, Yuko
dan Tomomi berbarengan.
“Memangnya apa lagi yang biasa kalian
lakukan di akhir pekan?”
“Ya
Tuhan, besok bukan sekedar hari libur, Acchan. Apa kau benar-benar lupa besok
hari apa?” tanya Tomomi yang hampir hilang kesabaran.
“Apa?” tanya Atsuko tak acuh.
“Agenda
tahunan kita ke Nagoya. Jangan bilang kau lupa!” ujar Minami.
Di
ujung sana, Atsuko diam; berpikir sejenak. “Ah,
kunjungan rutin ke pemakaman Jurina? Tapi aku sibuk sekali.”
Yuko
menggelengkan kepalanya tanda menyerah.
“Acchan!
Acchan! Tahun kemarin dan tahun kemarinnya kamu juga tidak ikut. Nanti arwah
Jurina menghantuimu, lho!” seloroh Haruna yang kemudian disambit tangan Minami.
“Ini sudah tahun kesepuluh sejak
kematian Jurina. Mau sampai kapan kalian mengunjungi makam dan rumahnya?”
“Tidak
ada salahnya selama kita masih sempat,” jawab Tomomi.
“Tapi aku tidak sempat. Aku sibuk. Apalagi
hari Minggu besok. Aku melatih anak-anak untuk lomba yang semakin di depan
mata. Jadi, aku titip salam untuk Tou-san dan Kaa-san4.
Kalian sudah biasa tanpaku, ‘kan? Ja nee5...TUT TUT TUT.” Atsuko mengakhiri panggilan.
Yuko
menghela nafas berat, “Selalu berakhir seperti ini. Apalagi alasan yang harus
kita katakan pada Tou-san dan Kaa-san? Mereka tahu ‘kan kalau Acchan
teman terdekat Jurina? Bahkan sudah mereka anggap anak sendiri? Sementara sudah
tiga tahun terakhir ini Acchan tak pernah mengunjungi mereka.”
“Memangnya
Acchan tidak takut dikutuk arwah Jurina, ya?” sahut Haruna.
“Hush!
Nyan-nyan ngomongnya serem banget, sih!” Tomomi bergidik.
***
Hari
sudah gelap ketika Atsuko sampai di kamar apartemennya. Perlombaan musim semi
mendatang benar-benar menguras tenaga dan pikiran. Tapi Atsuko bangga, ia
bertekad mendidik anak muridnya dengan baik sehingga perlombaan nanti akan
membawa kemenangan untuk Hanamari Gakuen.
Sejak
SMU, Atsuko memang bercita-cita jadi guru. Tidak hanya ia sendiri, tapi sahabat
terdekatnya juga, Jurina. Ia dan Jurina sering berkhayal tentang kehidupan
dewasa mereka menjadi pengajar di sekolah menengah. Mengenakan blazer yang modis, mengenakan sepatu hak
yang berbunyi merdu, mengenakan kacamata dan menenteng buku panduan mengajar,
juga menggaet siswa-siswa tampan. Tidak. Yang terakhir itu hanya gurauan.
Sudah
sepuluh tahun sejak teman terdekatnya meninggal karena tumor ganas yang hinggap
di paru-parunya. Memaksa gadis muda itu untuk meninggalkan dunia lebih cepat
dari teman-teman sebayanya. Jika Jurina masih ada, sekarang pasti ia dan Atsuko
menjadi guru bersama-sama. Sepulang dari sekolah, mereka berdua ke kedai ramen
atau coffee shopuntuk sekedar
bersenda gurau membicarakan bagaimana hari-hari mereka di sekolah. Ah, akan
terasa menyenangkan.
Memikirkan
hal itu, tak ayal lagi membuat Atsuko menitikkan bulir air matanya. Ia meraih
figura di atas meja di samping tempat tidurnya, yang berisikan potret ia dan
Jurina mengenakan seragam sekolah mereka dulu; jas berwarna merah muda cerah
dengan dasi motif sakura yang cantik.
“Gomen ne6...” gumam Atsuko
seraya mendekap figura foto tersebut.
Bukan
tidak mau ia ikut pergi ke Nagoya, tapi keadaan benar-benar tidak memungkinkan.
Ada hal yang lebih penting yang harus ia lakukan besok. Ya, lebih penting dari
sekedar mengunjungi rumah orang meninggal. Bayangkan saja, jarak Tokyo-Nagoya
itu tidak dekat. Lagipula, Atsuko bisa mengunjungi keluarga Jurina kapanpun ia
mau. Tapi sudah tiga tahun Atsuko tidak melakukannya.
Atsuko
terus mendekap foto itu sepanjang malam hingga ia jatuh tertidur karena lelah.
***
KRING!
KRIING! KRIIING!
Sudah
terhitung 18 kali sejak ponsel di samping bantal itu berdering nyaring. Jarum
pendek jam weker di meja menunjuk angka 8. Perlahan-lahan mata Atsuko terbuka.
Sedikit bengkak bekas air mata semalam. Ia meraih ponselnya dan menjawab
panggilan dengan mata masih setengah menutup.
“Moshi-moshi.7”
“Acchan! Kami menunggu di stasiun. Cepatlah!
Masih ada sepuluh menit lagi sebelum kereta berangkat,” seru Minami di
seberang telpon.
“Minami,
sudah kubilang aku sibuk. Aku tidak bisa ikut,” ujar Atsuko tegas.
“Ayolah, Acchan, yang benar saja?! Jurina
pasti merindukanmu,” Minami coba merayu.
“Jangan
bodoh! Jurina sudah meninggal. Apanya yang merindukanku? Nisannya?” kini mata
Atsuko terbuka lebar karena jengkel akan ucapan Minami.
“Kalau begitu, Tou-san dan Kaa-san pasti merindukanmu.”
“Sampaikan
salamku, apa susahnya?!”
“Sudahlah, dia bilang dia tidak mau ikut,”
terdengar Yuko berbicara pada Minami.
“Ya,
aku tidak ikut,” Atsuko membenarkan seraya bangkit dari ranjang.
“Tapi Acchan...” Minami masih berusaha
membujuk.
“Aah!!”
pekik Atsuko ketika ia merasakan ada sesuatu yang menusuk permukaan telapak
kakinya. Ponsel di tangannya terlempar ke ranjang karena kedua tangan Atsuko
berusaha memeriksa kakinya.
“Acchan! Acchan!” suara Minami masih
terdengar sampai Yuko berinisiatif memutuskan panggilan dengan wajah menekuk.
Atsuko
terduduk kesakitan. Perhatiannya tertuju pada sebuah figura foto yang kini
tergeletak di depannya. Kacanya sudah hancur. Adalah sebagian yang kini menusuk
telapak kaki Atsuko. Pasti terjatuh dari ranjang semalam, pikir Atsuko. Tapi,
setinggi-tingginya sebuah tempat tidur, tidak akan membuat kaca figura hancur
sebegitu rupa jika jatuh dari atasnya. Ini di atas normal. Mungkinkah ini
firasat buruk? Ah, takhayul! Atsuko menepis pikiran buruknya sambil berupaya
keras mengambil pecahan kaca dari telapak kakinya dengan terkadang diselingi
aduhan dan keluhan kecil.
Jurina
menatap Atsuko. Menatapnya dari balik pecahan kaca.
***
“Ohayou8!”
“Ohayou, Maeda sensei!!” koor anak-anak ekstrakurikuler seni yang disiapkan
sekolah untuk berpartisipasi dalam lomba mendatang.
Atsuko
memasuki ruangan dengan senyum cerah meski ia harus berjalan terpincang-pincang
karena telapak kaki kirinya terluka. Lukanya kini sudah berbalut perban, dan ia
hanya mengenakan slippers karena
sangat tidak mungkin memakai selop berhak tinggi dalam kondisi kaki seperti
ini.
“Maeda
sensei daijobu9?” seorang
siswi mewakili teman-temannya untuk bertanya.
“Hanya
kecelakaan kecil. Tidak apa-apa,” jawab Atsuko dengan menorehkan senyuman.
Hari
Minggu itu, latihan berjalan lancar seperti biasa meski kondisi Atsuko tidak
bisa dibilang fit. Namun demi HanaGaku, Atsuko optimis mereka bisa membawa
pulang kemenangan.
Latihan
berakhir pukul lima sore. Atsuko bersama anak didiknya pergi ke restoran
yakiniku sesuai dengan rencana mereka tadi, alih-alih membawa Atsuko ke klinik
untuk memeriksa luka di kakinya.
DRRRT.
DRRRT.
Ponsel
Atsuko bergetar tatkala guru muda itu sibuk memanggang daging. Ia bergegas
memeriksa ponselnya untuk mengetahui siapa yang mengiriminya pesan. Namun air
mukanya berubah keruh ketika melihat layar ponsel. Semua muridnya tidak ada
yang menyadari perubahan ekspresi Atsuko, mereka terlalu sibuk makan sambil
tertawa-tawa.
Menggosok-gosok
matanya adalah upaya tambahan Atsuko. Mungkin apa yang dilihatnya hanya
halusinasi akibat ia terlalu kelelahan juga pengaruh asap daging di meja yang
berada di depannya. Nihil. Apa yang ia lihat tidak berubah.
Jurina.
Nama itu tampak dalam data pengirim pesan. Atsuko termenung. Ia sudah tidak
menyimpan nomor ponsel Jurina ataupun nomor ponsel seseorang dengan nama
Jurina. Lagipula ia tidak mempunyai kenalan lain yang bernama Jurina. Lalu ini
apa maksudnya?
Isi
pesan itu membuat Atsuko tambah bingung. “Musim semi masih sama seperti sepuluh
tahun yang lalu.” Ia hendak membalasnya dan beranggapan positif bahwa ini
hanyalah keusilan teman-temannya. Tapi usahanya gagal. Pesan tidak terkirim
karena tidak ada nomor pengirim. Hanya terdapat nama. Hanya nama.
“Maeda
sensei, dagingnya gosong, nih!” seru
seorang siswi yang duduk tepat berhadapan dengan Atsuko.
“Ee?!”
Atsuko segera mengalihkan perhatiannya dari ponsel. Sementara ponselnya ia
jejalkan ke dalam tas dengan gusar.
***
Atsuko
menghempaskan badannya ke tempat tidur. Empuknya tempat tidur selalu
menenangkan hati, ungkapan yang diucapkan Jurina dulu tiba-tiba melintas di
otak Atsuko. Sepanjang perjalanan pulang tadi, Atsuko terus berusaha
menghubungi dan mengirimi pesan balasan untuk seseorang yang mengaku Jurina.
Namun berapa kalipun ia berusaha, semuanya tak membuahkan hasil. Sejuta kali ia
coba, sejuta kali ia gagal.
Atsuko
menerawang. Pikirannya berkecamuk. Lebih karena pesan aneh yang ia terima tadi.
Pandangan matanya menyapu ruangan hingga perhatiannya terhenti pada foto di
atas meja. Di sana ada dua buah figura foto yang mempunyai ukuran dan model
serupa. Figura foto di sebelah kiri menampilkan enam orang gadis dengan seragam
warna merah muda cerah. Minami, Atsuko, Haruna, Jurina, Yuko dan Tomomi. Di
sebelahnya terdapat figura foto Atsuko dan Jurina. Foto yang semalam tadi
didekap Atsuko hingga ia jatuh tertidur dan benda itu jatuh terantuk lantai
hingga kacanya pecah.
Mata
Atsuko membelalak ketika ia sadar foto yang kini terpasang rapi di atas meja tampak
utuh seperti semula. Sama seperti saat ia membelinya. Tanpa kaca yang pecah.
Atsuko yakin ia belum menggantinya sejak insiden tadi pagi. Ataukah ia
mempunyai gangguan memori? Tidak. Ia yakin belum mengganti kacanya. Atau
mungkin seseorang memasuki apartemennya untuk mengganti kaca figura yang pecah?
Itu lebih aneh.
Bulu
kuduk Atsuko berdiri. Ia mengusap pundaknya perlahan sambil menarik selimut
tinggi-tinggi. Sungguh tidak ada niat untuk mengganti pakaian dan membasuh
badan atau sekedar cuci muka dan sikat gigi dulu, Atsuko hanya memejamkan
matanya rapat-rapat, berharap bisa cepat tidur dan bermimpi indah.
***
Angin
berhembus lembut, menggugurkan helaian bunga warna merah muda cerah ke
permukaan bumi. Irama yang dihasilkannya lebih syahdu daripada mendengarkan
musik klasik gubahan maestro terhebat sekalipun.
Ada
dua orang gadis yang terbaring di bawah pohon sakura. Mereka menaikkan
tangannya tinggi-tinggi dan menggoyang-goyangkannya seiring gugurnya helaian
bunga sakura.
“Aku rasanya
pernah mengalami ini,” ucap seorang dari mereka.
“Itu
namanya dejavu, Acchan!” seseorang
lagi menyahut seraya terkekeh.
“Souka10?”
Lama
mereka terdiam, hanya menikmati sapuan angin yang menyapa lembut wajah mereka.
“Ano11, Jurina, kau ingin jadi
guru, ya?”
“Iya.
Acchan juga, ‘kan?” seseorang yang dipanggil Jurina itu menoleh dengan senyum.
Atsuko,
yang bertanya hanya mengangguk sambil membalas senyuman Jurina.
“Berjanjilah,
kita akan berusaha bersama-sama. Kita berdua harus bisa mencapai apa yang kita
cita-citakan! Tak ada yang memisahkan kita. Tak ada yang bisa menghalangi mimpi
kita,” Jurina mengacungkan jari kelingkingnya tinggi-tinggi di udara.
“Janji!!!”
seru Atsuko. Ia mengikuti Jurina mengacungkan kelingkingnya di udara hingga
kedua jari mereka bertaut.
Mereka
berdua tergelak.
“Acchan...”
tawa Jurina terhenti. Ia menatap mata Atsuko dengan intens.
“Apa?”
Atsuko kebingungan dengan perubahan ekspresi tiba-tiba Jurina.
“Aku
kesepian. Kau mau menemaniku?”
“Apa
yang kau bicarakan? Tentu saja aku akan selalu menemanimu. Kau ‘kan sahabat
terbaikku, Jurina,” telapak tangan Atsuko membelai lembut pipi gadis yang
terbaring di samping kirinya. “Bukankah kita soulmate?!”
“Hihihi,”
Jurina terkikik.
“Hihihi,”
Atsuko ikut terkikik. Tangan kanannya terulur ke atas, menyongsong helai demi
helai bunga berwarna merah muda yang berguguran tanpa henti. Ia berhasil
menangkap satu helai kemudian menempelkannya ke pipi Jurina.
“Nani kore12?” mata Jurina
membulat.
Acchan
terkekeh, “Hei cantik, jangan sedih! Aku akan selalu menemanimu. Kapanpun kau
butuh aku. Janji...”
Namun
Jurina terdiam. Hal itu membuat Atsuko bingung.
“USO13!!” Jurina menjerit
sambil bangkit terduduk. “Sudah tiga tahun kau tidak datang. Kau sudah
melupakan aku ‘kan, Acchan?!” tanpa mengindahkan tatapan penuh tanya dari
Atsuko, Jurina berdiri kemudian berlari.
“Jurina,
apa maksudmu?” Atsuko mengejar Jurina.
“Mana
janjimu, Acchan?! Kau bohong!”
“Tunggu!
Jurina! Jurina!” Atsuko terus berlari sekuat tenaga. Tapi ia tidak berhasil
menyusul Jurina.
“Jurina!
Jurinaaa!” sebuah akar pohon membuat Atsuko tersandung dan jatuh terjerembab.
“Jurinaaa!”
keringat dingin mengucur dari wajahnya. Langit-langit kamar yang terang
menyambutnya dalam diam. Atsuko bangun dan mengusap keringat di pelipisnya
dengan punggung tangan. Ia berniat meraih gelas air minum dari atas meja ketika
figura foto berisikan ia dan Jurina mengalihkan perhatiannya.
Kaca
foto itu retak.
***
Berita
ramalan cuaca tadi pagi pasti salah. Musim panas akan datang, kenapa turun
hujan sederas ini? Ketika Atsuko berada di Nagoya; di depan nisan Jurina.
“Baka ja nai14!” ia segera
berlari pontang-panting menerobos derasnya hujan. Tak ia pedulikan telapak kaki
kirinya yang masih terasa sakit. Ia hanya berlari secepat mungkin agar segera
menemukan tempat untuk berteduh.
Hujan
yang sangat deras membuat pandangan Atsuko mengabur. Objek-objek yang bisa
ditangkap retinanya bak gambar yang di-blur.
Dan ketika ada sebuah batu lumayan besar yang menyongsong kakinya, Atsuko tidak
tahu. Ia terpelanting ke depan di mana sebuah batu nisan menyambut kepalanya
dengan pasti.
***
“Musim
semi masih sama seperti sepuluh tahun yang lalu.”
“Bunga
sakuranya juga.”
“Angin
yang bertiup sepoi-sepoi.”
“Ah,
lenganku bergoyang-goyang karena angin.”
“Hap.
Aku dapat nih, sehelai bunga sakura!”
“Hihihi.”
“Kali
ini biarkan aku menempelkannya di pipimu.”
“Kau
hanya meniru apa yang aku lakukan sepuluh tahun yang lalu. Gak kreatif!”
“Biar
saja.”
“Cih!
Bunga sakuranya tidak lebih besar dari yang kutempelkan dulu.”
“Mau
yang lebih besar? Copotkan saja dasi bunga sakuramu, BakAcchan!”
“Tidak
bisa, JuriBaka!”
“Baka
Acchan!”
“JuriBaka!”
“Hahaha.”
“Hahaha.”
—FIN—
Diberdayakan oleh Blogger.